REINTERPRETASI PASAL 390 (1) HIR DALAM PERSPEKTIF KEADILAN

Gambar

Oleh: Hasan Ashari, S.H.I.[1]

Rangkaian proses pemeriksaan persidangan harus berjalan menurut tata cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pemanggilan para pihak untuk menghadiri persidangan merupakan awal dari rangkaian proses beracara di Pengadilan. Berlandaskan pemanggilan, Hakim memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang ditangani.

Secara normatif pemanggilan para pihak di Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 26-28 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 390 HIR atau Pasal 145 – 146 R.Bg. khusus mengenai Pasal 390 (1) HIR; pemanggilan yang tidak bertemu dengan para pihak, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa/ lurah atau yang dipersamakan dengan itu. Dalam praktek di lapangan banyak ditemukan permasalahan yang diawali dari interpretasi undang-undang yang mengesankan adanya ruang-ruang pengertian yang merugikan para pihak yang berperkara terutama pihak yang tidak ditemui di tempat tinggal atau domisili.

Undang-Undang Dasar1945 padaPerubahan Keduadalam Pasal 28 D ayat (1) dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. landasan inilah sebenarnya Pengadilan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diajukan.

Dengan pembacaan diatas, maka reinterpretasi pasal 390 (1) HIR menjadi penting, sebab hukum acara perdata hadir untuk menegakkan hukum materiil.

Pengertian Pasal 390 (1) HIR

Pemanggilan atau panggilan (convocation, convocatie) dalam arti sempit merupakan perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Sedangkan panggilan dalam arti luas meliputi tindakan hukum pemberitahuan atau aanzegging (notification), yang antara lain; pemberitahuan putusan PTA dan MA, permintaan Banding, memori, kontra memori banding dan lain-lain.[2]

Dan tujuan pemanggilan adalah penyampaian pesan atau informasi kepada seseorang agar dia tahu tentang segala sesuatu hal yang hendak dilakukan oleh pihak lawan maupun suatu tindakan yang akan dilakukan pengadilan[3].

Pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama yang menangani perkara tersebut diatur dalam pasal 26 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo 390 HIR , 718 R.Bg dan 138 KHI. Yang secara prinsip panggilan harus memenuhi unsur Resmi, Patut dan disampaikan kepada yang bersangkutan secara pribadi (In Person).

Dalam hal in person, menurut Pasal 26 (3) PP No 9 Tahun 1975 jo Pasal 390 (1) HIR menerangkan tata cara pemanggilan yang secara garis besar mengandung pengertian sebagai berikut:

  1. Surat pemanggilan harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan tergugat.
  2. Surat pemanggilan harus disampaikan kepada tergugat sendiri secara in person. Dalam hal juru sita atau juru sita pengganti tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil, maka surat panggilan disampaikan melalui kepala desa / lurah

Menurut Prof. Abdul Manan, surat panggilan yang tidak ditemui secara pribadi selanjutnya disampaikan melalui kepala desa / lurah dengan menjelaskan pengertian pasal 390 (1) HIR:

“…dalam pasal 390 HIR disebutkan bahwa kepala desa (bek) berkewajiban untuk menyampaikan panggilan kepada pihak-pihak yang berperkara yang ada di desanya, akan tetapi apabila lalai maka peraturan perundang-undangan tidak memberikan sanksi atas kelalaian tersebut. Oleh karena itu, disampaikan atau tidak panggilan tersebut oleh kepala desa atau lurah kepada yang berkepentingan, maka panggilan tersebut dianggap telah memenuhi syarat panggilan dan yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan resmi. Seandainya kepala desa atau lurah betul-betul tidak menympaikan panggilan tersebut karena kealpaannya, ia tidak dapat dituntut secara pidana”.

Menurut Yahya Harahap mengenai pasal 390 ayat (1) HIR dengan menambah penjelasan pasal 3 Rv. Menguraikan apabila yang bersangkutan atau keluarganya tidak ditemui oleh juru sita di tempat tinggalnya maka:

  • Panggilan disampaikan kepada kepala desa;
  • Penyampaian kepada kepala desa, diikuti oleh perintah, agar segera menyampaikan surat panggilan itu kepada yang bersangkutan;
  • Pemanggilan adalah sah jika kepala desa atau lurah setempat benar-benar menyampaikan panggilan tersebut kepada tergugat yang bersangkutan;
  • Untukmenegakkan kepastian hukum dan tata tertiib beracara, pengembalian penyampaian relaas panggilan ke pengadilan, dianggap merupakan syarat formil keabsahan penyampaian panggilan guna menghindari kerugian kepada pihak yang bersangkutan.

Tentang masalah kelalaian kepala desa menyampaikan panggilan kepada pihak yang berkepentingan, dapat disetujui proposal yang yang termuat dalam Himpunan Materi Rapat kerja Teknis 1997, Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tingkat Banding (MA 1998, hal 251) menegaskan bahwa dalam pembaharuan hukum acara perdata hendaknya dicantumkan ancaman kepada kepala desa yang sengaja atau lalai menyampaikan relaas  kepada pihak yang berkepentingan[4].

Surat pemanggilan disampaikan kepada kepala desa atau lurah tempat tergugat bertempat tinggal atau berdiam apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal atau tempat kediamannya. Hal itu sesungguhnya dimaksud agar surat panggilan tersebut akan benar-benar diterima oleh yang bersangkutan.[5]

Dari paparan para pakar diatas ada dua perbedaan mengenai penjelasan Pasal 26 (3) PP No 9 Tahun 1975 jo pasal 390 (1) HIR, perbedaan itu terletak pada kewajiban dan perintah tegas kepada kepala desa untuk menyampaikan relaas panggilan dimana jurusita tidak bertemu secara pribadi (inperson) dengan pihak yang bersangkutan.

Penjelasan yang mencukupkan keabsahan surat panggilan pada penyampaian di kepala desa / lurah, berkecenderungan manganut pardigma kebenaran formil semata, yang menurut beberapa pendapat mengatakan;” Hukum Acara yang berlaku pada peradilan-peradilan di Indonesia menganut sistem Formalistis[6]. alasan mencari nafkah / urusan ekonomi dan urusan penting lainnya dikesampingkan dalam aspek akses masyarakat terhadap hukum karena waktu pemanggilan yang terikat oleh jam kerja kantor juga dirasakan sama oleh masyarakat yang berperkara / bersangkutan.

Sedangkan pendapat yang kedua, menegaskan bahwa hukum masih perlu memperhatikan kepentingan pihak yang tidak ditemui oleh jurusita di tempat domisili atau tempat tinggalnya dengan cara memastikan surat panggilan benar-benar diketahui oleh pihak yang bersangkutan melalui kepala desa / lurah atau yang dipersamakan dengan itu.Yang pada ujungnya bisa diketahui dan menjadi landasan bagi Hakim untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Keadilan dalam Hukum

Keadilan yang dipahami masyarakat adalah tujuan hukum. Keadilan sendiri merupakan suatu hal yang abstrak dan sulit untuk mendefinisikannya. Namun beberapa pakar memberikan ilustrasi yang mendekati akan makna keadilan yang diwujudkan dari sebuah sisitem hukum.

Menurut Aristoteles, keadilan dibagi dua macam:

  • Keadilan Distributif atau Justitia Distributiva;

Keadilan distributive adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing.

  • Keadilan Kumulatif atau Justitia Cummulativa;

keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.

Menurut Thomas Aquinas:

Keadilan dibedakan dalam dua kelompok :

  • Keadilan umum (Justitiageneralis);

Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.

  • Keadilan khusus;

Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas

Dan menurut Ibnu Taimiyah:

Keadilan adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan.[7]

            Dengan demikian dapat disimpulkan dari ketiga pendapat diatas penulis menginterpretasikan keadilan dalam hukum adalah perlakuan yang sama dalam hukum (sesuai hukum) dan fair dalam menjalankan hukum (kesamaan / proporsional).

Keadilan dalam relaas panggilan.

Sebagaimana diuraikan diatas pasal 390 (1) HIR memberikan pengertian surat pemanggilan harus disampaikan kepada pihak yang bersangkutan secara pribadi (in person) di tempat tinggal atau domisili, dan bila tidak ditemui maka penyampaian melalui kepala desa / lurah atau yang dipersamakan dengan itu untuk diteruskan kepada yang bersangkutan.

Kesimpulan diatas merupakan interpretasi yang jamak dipahami oleh Pengadilan Agama seluruh Indonesia, namun ketegasan dari kewajiban kepala desa / lurah atau yang dipersamakan dengan itu untuk menyampaikan surat panggilan kepada yang bersangkutan masih ada perbedaan.

Dalam konteks ini, keadilan dipertanyakan melalui pemberian akses masyarakat terhadap hukum. Relaas panggilan atau surat panggilan yang tidak sampai kepada yang bersangkutan akan merugikan pihak yang secara kebetulan tidak bertemu dengan jurusita diwaktu pemanggilan dilakukan. Akan lebih tragis lagi apabila pihak hanya tahu bahwa putusan telah dijatuhkan dan yang bersangkutan tidak tahu dan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.

Hukum acara dibuat untuk menegakkan hukum materiil. Melalui pemahaman pasal 390 (1) dan 3 Rv dari Yahya Harahap bisa dibuat pijakan untuk menginterpretasi pasal 390 (1) HIR. Ada 2 hal yang minimal bisa dibuat dasar bahwa hukum acara benar-benar menegakkan hukum materiil dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak, baik dalam keadaan sempit atau luas.

Pertama; Adanya kepastian dan kejelasan tentang keberadaan para pihak yang dipanggil melalui BAP relaas yang diserahkan kembali kepada kepaniteraan Pengadilan.Kedua; Memperhatikan kepentingan para pihak yang tidak ditemui oleh jurusita saat dilakukan pemanggilan, karena kepentingan yang bersangkutan bisa jadi pekerjaan yang tidak bisa ditinggal atau dibiarkan.

Ketidakadilan dalam penerapan hukumnya terjadi disaat pemanggilan, karena berita yang tak sampai kepada yang bersangkutan merugikan para pihak untuk mempertahankan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu hukum acara yang menjadi acuan dari tata kerja hukum dijalankan harus mengurangi ruang-ruang penafsiran yang merugikan salah satu pihak yang berperkara.

Penutup

            Pasal 390 (1) HIR jo Pasal 26 PP No 9 Tahun 1975, memberikan pengertian bahwa relaas harus dipastikan benar-benar sampai kepada yang bersangkutan. Dengan memberikan ketegasan bahwa kepala desa / lurah atau yang dipersamakan dengan itu berkewajiban menyampaikan kepada yang bersankutan.

            Keadilan bagi pihak yang dipanggil merupakan keadaan yang secara sama diperlakukan kepada pihak lain, dengan diberikannya akses yang seluas-luasnya untuk mengetahui jalannya perkara di persidangan pengadilan.

            Hukum acara dibuat untuk menegakkan hukum materiil, penafsiran dan pemahaman terhadap hukum acara sudah selaiknya memperhatikan kepentingan masyarakat. Karena hukum hadir untuk keadilan masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Prof Bagir Manan; “ penafsiran hukum acara diperkenankan oleh hakim dengan dasar keadilan bagi masyarakat”. Akhirnya amanat UUD 1954 pasal 28 d bisa diwujudkan dalam setiap peran pengadilan. Wallahu a’lam bisshowab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika 2004).

 

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor, Ghalia, 2012).

 

Mahasari, Jamaluddi, Pengertian Keadilan diambil dari pendapat para Ahli, http://jamaluddinmahasari.wordpress.com/2012/04/22/pengertian-keadilan-diambil-dari-pendapat-para-ahli/ diakses pada tanggal 23-09-2013.

 

Sutantio, Retno Wulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, cet. 9, (Bandung: Mandar maju, 2002).


[1] Penulis adalah Cakim Angkatan VII PPC Terpadu II.

[2]Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika 2004), hal. 213.

[3]Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,cet.9, (Bandung: Mandar maju, 2002), hal. 22

[4]Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 222

[5]Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit., hal. 96.

[6]Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor, Ghalia, 2012), hal. 125.

[7]Jamaluddi Mahasari, Pengertian Keadilan diambil dari pendapat para Ahli, http://jamaluddinmahasari.wordpress.com/2012/04/22/pengertian-keadilan-diambil-dari-pendapat-para-ahli/ diakses pada tanggal 23-09-2013

 

By calonhakimppcii

Tinggalkan komentar